Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Masjid Raya Ganting: Warisan Budaya dan Sejarah Islam di Kota Padang

Masjid Raya Ganting adalah salah satu bangunan bersejarah yang memiliki nilai historis dan budaya yang sangat penting bagi masyarakat Kota Padang, Sumatera Barat. Terletak di Kampung Ganting, Kecamatan Padang Timur, masjid ini merupakan peninggalan abad ke-19 yang menjadi cikal bakal dari banyak masjid besar di kawasan Minangkabau. Dengan arsitektur yang mencerminkan akulturasi budaya, Masjid Raya Ganting tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol perjuangan dan pengembangan Islam di daerah tersebut.

Sejarah Awal Masjid Raya Ganting

Masjid Raya Ganting Sejarah Arsitektur

Cikal bakal Masjid Raya Ganting berasal dari sebuah surau yang dibangun pada abad ke-18 di sekitar area Kapalo Koto, kini masuk wilayah Seberang Padang. Surau ini awalnya terletak di dekat jembatan Seberang Padang, sekitar 300 meter dari lokasi masjid saat ini. Pada masa itu, bangunan surau terbuat dari kayu dengan atap berbahan rumbia. Surau ini kemudian dipindahkan ke Kampung Ganting di tepi Batang Arau dan diberi nama Surau Kampung Ganting. Tanah untuk pembangunan masjid diperoleh dari wakaf masyarakat setempat, sementara dana pembangunan dihimpun melalui sumbangan penduduk Muslim, terutama dari kalangan saudara.

Menurut beberapa sumber, Masjid Raya Ganting didirikan pada tahun 1805 dan rampung pada 1810. Haji Umar, kepala kampung setempat dari Suku Caniago, merupakan salah satu tokoh yang memprakarsai pembangunan masjid. Meski demikian, ada versi lain yang menyebutkan bahwa pembangunan dimulai pada 1866, namun berjalan lambat karena kurangnya dana. Pada masa itu, masjid menjadi pusat kegiatan dakwah dan perdebatan keislaman di Minangkabau.

Pengembangan dan Perubahan Bangunan

Masjid Raya Ganting Pengembangan Arsitektur

Pada awal abad ke-20, Masjid Raya Ganting mengalami sejumlah perubahan dalam bentuk fisik. Lantai bangunan mulai dicor dengan semen buatan Jerman dan dipasang tegel dari Belanda yang dipesan melalui NV Jacobson van den Berg. Pemasangan tegel ditangani oleh tukang yang ditunjuk langsung oleh pabrik dan selesai pada 1910. Selama tahun-tahun berikutnya, dilakukan sejumlah pekerjaan pembangunan yang mengubah tampilan bangunan, terutama pada bentuk atap, cungkup, tiang, dan fasad yang ada sekarang.

Beberapa elemen arsitektur yang menarik termasuk ukiran kayu di mihrab dan muzawir yang berfungsi sebagai tempat penyambung suara imam. Muzawir ini digunakan hingga 1978 ketika penggunaan pengeras suara membuatnya tidak lagi diperlukan. Pada 1960, keramik dipasang pada 25 tiang ruang utama, sedangkan pada 1967, menara dibangun di bagian kiri dan kanan fasad masjid serta tempat wudu permanen dan tertutup.

Peran Masjid dalam Perjuangan Kemerdekaan

Masjid Raya Ganting Arsitektur Budaya

Masjid Raya Ganting tidak hanya menjadi pusat keagamaan, tetapi juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selama pendudukan tentara Jepang, masjid ini dijadikan sebagai markas sekaligus tempat pembinaan prajurit Giyugun dan Heiho, kesatuan tentara pribumi yang dibentuk oleh Jepang. Anggota perwira militer Gyugun terdiri atas para ulama, sedangkan prajurit Heiho diambil dari para santri.

Setelah tentara Sekutu mendarat di Sumatra, banyak tentara Inggris dari kesatuan tentara Muslim India membelot dan bergabung dengan tentara rakyat setempat. Mereka mengatur strategi penyerangan dari masjid ini, termasuk penyerangan ke salah satu tangsi militer Inggris dari kesatuan Gurkha. Ketika seorang prajurit Muslim itu tewas dalam perkelahian di markas militer yang hanya berjarak 200 meter dari masjid, jenazahnya disemayamkan di sekitar masjid.

Arsitektur yang Menggambarkan Akulturasi Budaya

Arsitektur Masjid Raya Ganting mencerminkan akulturasi etnis-etnis yang ada di Kota Padang. Pengaruh Eropa dan India terlihat pada fasad masjid yang terinspirasi dari gaya Neoklasik. Fasad menutup seluruh dinding di bagian depan serta sebagian dinding di bagian samping (kiri dan kanan). Elemen fasad meliputi pelengkung, plisir, dan pembirih yang terinspirasi oleh gaya arsitektur Neoklasik. Adapun parapet berupa deretan baluster dengan hiasan kubah bawang, yang kemungkinan dipengaruhi arsitektur Mughal.

Masjid ini memiliki bentuk atap berundak, ciri khas arsitektur masjid di Nusantara. Puncak atap diberi kubah nenas dengan hiasan mustaka. Undakan atap terdiri atas lima tingkat; tiga tingkat berdenah persegi dan dua tingkat berdenah segi delapan. Menurut Fachrul Rasyid, bagian atap berdenah segi delapan dulunya dikerjakan oleh tukang-tukang Tionghoa di bawah pimpinan Kapten Cina Lau Ch’uan Ko (atau Louw Tjoean Ko). Namun, kronologisnya tidak jelas.

Tata Ruang dan Fasilitas Pendukung

Masjid Raya Ganting memiliki denah bangunan persegi panjang berukuran 42 × 39 m. Ruang utamanya berdenah bujur sangkar berukuran 30 × 30 m. Serambi mengelilingi ruang utama pada sisi depan dan samping. Denah serambi muka berukuran 12 × 39 m. Adapun denah serambi samping, baik kiri dan kanan, berukuran 30 × 4,5 m. Bersebelahan dengan serambi samping, terdapat bangunan tempat wudu; sebelah kiri untuk perempuan dan sebelah kanan untuk laki-laki.

Ruang utama dapat diakses melalui empat pintu masuk. Dua pintu terdapat di bagian depan, sisanya terdapat bagian samping kiri dan samping kanan. Pintu memiliki ukuran 160 × 264 cm dengan dua daun pintu dari kayu. Pintu memiliki lubang angin dengan hiasan lengkung kipas. Terdapat pula dua jendela yang terbuat dari kayu di sisi timur mengapit pintu masuk, dan masing-masing tiga jendela di sisi utara dan selatan, serta enam jendela di sisi barat. Jendela-jendela berukuran 160 × 200 cm. Seperti pada pintu, jendela memiliki hiasan lengkung kipas pada lubang anginnya.

Dinding pada ruang utama terbuat dari beton berlapis keramik, sedangkan lantainya terbuat dari tegel putih berhiaskan bunga. Di dalam ruang utama, terdapat 25 tiang yang berbentuk segi enam berdiameter 40–50 cm dan tinggi mencapai 420 cm. Tiang-tiang yang terbuat dari bata merah dengan bahan perekat kapur dicampur putih telur ini sama sekali tidak menggunakan tulang besi. Jumlah 25 tiang berjajar lima melambangkan 25 nabi, dan masing-masing tiang dilapisi marmer putih berhiaskan kaligrafi yang memuat nama 25 nabi mulai dari Adam sampai Muhammad.

Wisata Religi dan Keberlanjutan

Masjid Raya Ganting telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah dan menjadi daya tarik wisata di Kota Padang. Meskipun sempat mengalami kerusakan akibat gempa bumi tahun 2005 dan 2009, bangunan masjid ini terpelihara dengan baik. Setelah gempa bumi pada 2009, kerusakan yang dialami masjid menyebabkan aktivitas ibadah terganggu sehingga, selama sementara waktu aktivitas ibadah harus dilakukan di halaman masjid.

Selain itu, Masjid Raya Ganting juga menjadi tempat berkumpulnya para pejabat negara baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa pejabat negara yang pernah berkunjung ke masjid ini antara lain Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwana IX, Wakil Ketua DPR-GR Achmad Syaichu, dan Ketua MPRS Abdul Haris Nasution. Pejabat luar negeri dari Malaysia, Arab Saudi, dan Mesir juga pernah mengunjungi masjid ini.

Masjid Raya Ganting tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi simbol perjuangan, pengembangan Islam, dan akulturasi budaya di Kota Padang. Dengan sejarah yang kaya dan arsitektur yang unik, masjid ini layak menjadi destinasi wisata religi yang patut dikunjungi.Salah satu dari 10 Tempat Wisata di Padang yang Wajib Dikunjungi.

Post a Comment for "Masjid Raya Ganting: Warisan Budaya dan Sejarah Islam di Kota Padang"